• RSS
  • Facebook
  • Twitter
Comments

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu 'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuhu

Ikhwah Fillah.

Setelah baca judul tulisan yang provokatif ini, silakan antum cek deh di google. Di luar sana, mungkin antum bakal banyak menemukan artikel-artikel bertebaran yang mendebatkan tentang "menabung" juga. Entah itu mendebatkan tentang hukum menabung di bank konvensional yang berpotensi "riba". Atau bahkan saat menabung di bank syariah pun, masih juga ada yang mendebatkan tentang "tidak syar'i"-nya bank syariah itu sendiri.

Wallahu a'lam bishshawwab.

Terlepas dari perdebatan tentang menabung di bank konvensional atau syariah, ane di sini justru lebih tertarik mengangkat wacana yang lebih ringan dari itu semua. Tapi mungkin sesuatu yang kecil/ringan inilah yang justru menjadi "kulit pisang di jalanan" bagi perdebatan fiqih high-class tentang bank konvensional atau syariah ini. 

Nah, antum kepikiran ga apa yang ane maksud dengan "kulit pisang"-nya perdebatan tentang menabung di bank? Ini sesuatu yang fundamental dan basic banget. Tapi, ya inilah yang justru jadi pondasi bagi hukum menabung itu sendiri. Percuma ngedebatin nabung di bank konvensional atau syariah, kalo ternyata "menabung" itu sendiripun sebenernya haram atau ga diridhoi Allah. Na'udzubillah.

Biar lebih jelas, ane gambarin sesuatu yang fundamental ini ke dalam pertanyaan-pertanyaan ini deh:

Apakah benar Islam mengajarkan tentang menabung?
Jika ya, seperti apa tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah tentang menabung?
Apakah pemahaman kita tentang apa itu "menabung" sudah sama dengan yang diajarkan dalam Islam?
Atau jangan-jangan "menabung"-nya kita selama ini justru malah tergolong sebagai menumpuk-numpuk harta?

Na'udzubillahi min dzalik.

Nah, Ikhwah Fillah sekalian. Kalau antum penasaran sama jawaban pertanyaan-pertanyaan ini, silakan lanjutin baca. Tapi inget baca basmalah dulu, "Iqra, bismirabbikalladzi khalaq". Karena tujuan tulisan ini untuk semata-mata mengharap ridho Allah, yakni sekedar saling mengingatkan dalam kebenaran, "Watawa shawbilhaq". Bukan untuk berdebat kusir yang mengundang rasa 'ujub dalam diri kita, Na'udzubillah.

Oke, Bismillah. Kita mulai ya. Here we go!

Bagaimana persepsi kita tentang apa itu "menabung"?

Antum inget ga? Dari kecil, tepatnya sejak SD, kita mungkin udah tertanamkan stigma tentang menabung. "Menabung pangkal kaya". Atau teman dekatnya, "hemat pangkal kaya".

Ga ada yang salah kok dengan pepatah "hemat pangkal kaya". Karena Al-Qur'an pun memang mengajarkan tentang berhemat, atau lebih tepatnya tidak boros. bahkan Al-Qur'an mengajarkannya lebih sempurna, yakni jangan boros tapi jangan terlalu kikir juga. Pergunakan harta ya sesuai kebutuhannya aja.
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
[Al-Furqan: 67]
Ane setuju ama pepatah "hemat pangkal kaya". Karena pada hakikatnya kaya itu adalah memiliki pendapatan melebihi apa yang kita butuhkan. Jadi bener, hemat dengan memilah antara mana yang benar-benar kita "butuhkan" dengan apa yang sekedar cuma kita "inginkan" pasti akan menjamin pendapatan kita melebihi apa yang kita butuhkan. Jadilah kita orang kaya jika kita berhemat.

Nah, tapi gimana dengan pepatah "menabung pangkal kaya"? Ane pribadi kurang setuju ama pepatah ini. Kenapa? Karena masih banyak persepsi yang keliru dari diri kita sendiri tentang apa itu menabung.

Persepsi keliru 1: Ketika harta sudah melebihi apa yang dibutuhkan, ya sisanya ditabung.

Kebanyakan orang pasti berpikiran bahwa persepsi ini cukup bijak. Walaupun sebagian besar orang bilang persepsi ini benar, tapi ane ga akan menyimpulkan persepsi ini benar. Karena parameter kebenaran atau kesalahan itu bukan dilihat dari kaca mata manusia, tapi dari tuntunan pedoman hidup kita: Qur'an dan Sunnah.

Nah, apa antum pernah nemu ayat Qur'an yang mengajarkan bagaimana kita seharusnya menyikapi harta yang sudah melebihi apa yang kita butuhkan? Antum mau khatam berkali-kalipun Al-Qur'an, insya Allah antum ga akan nemuin satupun ayat yang menganjurkan untuk menabungnya. Tapi antum akan nemuin satu ayat yang ngebahas tentang ini. Yap, silakan buka ayat yang tercantum di judul tulisan ini.
"... Dan mereka bertanya pula kepadamu apa yang mereka akan nafkahkan. Katakanlah: 'yang berlebih dari keperluan'. Demikian Allah menerangkan kepada kamu ayat-ayatnya supaya kamu berfikir"
[Al-Baqarah: 219]

Gimana? Jelas 'kan? Ya, Al-Qur'an mengajarkan, jika ada harta kita yang melebihi keperluan kita, ya sisanya itu harus dinafkahkan. Bukan ditabung. Kalo bingung dinafkahkan gimana maksudnya, itu dijelasin kok di beberapa ayat sebelum ayat tadi.
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: 'Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan'. Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Mengetahuinya.”
[Al-Baqarah: 215]
Nah, inilah keindahan yang diajarkan Al-Qur'an. Ketika kita memiliki kelebihan harta atau rezeki, daripada ditabung, lebih baik kita coba untuk lebih peka dulu dengan keadaan orang lain di sekitar kita, terutama orang-orang terdekat kita. Apakah ada di antara mereka yang membutuhkan harta itu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Jika ada, maka nafkahkanlah kelebihan harta itu untuk mereka. Subhanallah, inilah yang diajarkan oleh Islam. Begitu indah kepedulian sosial yang diajarkan di dalamnya.

Nah, menanggapi hal ini, mungkin akan muncul persepsi keliru selanjutnya di benak kita.

Persepsi keliru 2: Menabung itu kan untuk jaminan masa depan. Siapa tahu ada keperluan mendadak.

Wallahi, demi Dzat yang begitu sempurna mengatur rezeki setiap makhluk-Nya tanpa terkecuali. Jangan pernah tertipu dengan persepsi seperti ini, yaa ikhwah Fillah. Tentunya antum sudah familiar dengan surat-surat pendek di akhir juz 'amma kan? Antum insya Allah familiar juga dengan ayat ini.
"Celakalah bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya (dapat) mengekalkannya."
[Al-Humazah: 1-3]
Akhi dan ukhti, jangan pernah berpikir bahwa dengan menabung itu akan menjamin masa depan kita. Sungguh celaka jika kita berpikir seperti ini. Antum tahu kan bagaimana kelanjutan ayat ini menggambarkan akhir cerita dari orang-orang yang berpikir seperti ini? Na'udzubillahi min dzalik. Ane ga berani melanjutkan ayat ini sampai habis, karena begitu dahsyatnya kengerian adzab yang digambarkan di dalamnya.

Tapi tenang. Islam tidak pernah menafikan sesuatu tanpa memberikan alternatif solusinya. Islam tidak pernah melarang sesuatu tanpa memberikan jalan lain yang lebih suci untuk dijalani. Sebagaimana dalam syahadat, Islam mengajarkan bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah, lalu Islam memberikan jalan lain yang mutlak lebih benar, yakni hanya Allah lah yang patut disembah. Islam melarang kita untuk berzina, lalu Islam memberikan jalan lain yang lebih suci, yakni menikah. Islam melarang memakan harta riba, lalu Islam memberikan pintu rezeki lain yang lebih suci, yakni jual-beli.

Begitu juga dengan kekhawatiran kita akan adanya keperluan mendadak di masa depan. Islam tidak serta merta hanya melarang kita untuk mengumpulkan harta dan menganggapnya sebagai jaminan masa depan. Tapi Islam justru memberikan jaminan masa depan dalam bentuk lain yang lebih suci dari itu.
"Barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu."
[Ath-Thalaq: 2-3]
Wallahi, demi Dzat yang begitu sempurna mengatur rezeki setiap makhluk-Nya tanpa terkecuali. Inilah janji Allah kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Jika kita dengan ikhlas patuh kepada perintah Allah untuk menjauhi pemikiran bahwa tabungan akan menyelamatkan kita dari keperluan mendadak di masa depan, insya Allah, Allah-lah yang akan memberikan jalan keluar untuk keperluan mendadak itu dengan rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka oleh kita. Dan jika kita dengan penuh keyakinan mewakilkan segala urusan kita kepada Allah, maka bergembiralah, karena kita baru saja mempercayakan urusan kita kepada Dzat yang Maha Kaya dan Maha Pemberi Kekayaan.

Nah, gimana? Udah yakin belum untuk membuang jauh-jauh pemikiran menabung demi jaminan masa depan? Kalo masih ragu, ane ngerti apa yang antum raguin. Menanggapi ini, mungkin akan lahir persepsi keliru selanjutnya di benak kita.

Persepsi keliru 3: Kalo ga boleh nabung, masa kita harus ngehabisin saat itu juga rezeki yang baru kita dapet?

Masya Allah, siapa yang bilang ga boleh nabung, Akh/Ukh? Dari dua pembahasan sebelumnya, kita jangan malah jadi nyimpulin nabung tuh haram. Nabung boleh ko. Bahkan Rasulullah saw pun pernah mencontohkannya,
“...Rasulullah saw pernah membeli kurma dari Bani Nadhir dan menyimpannya untuk perbekalan setahun buat keluarga...”
[HR Bukhari]
Yang ga boleh itu menabung harta ketika kebutuhan kita sudah terpenuhi tapi di saat yang sama ada orang lain dekat kita yang masih kekurangan. Kalo menabung harta untuk kebutuhan kita nanti, ya sah-sah aja. Asalkan kebutuhan itu memang kebutuhan yang sudah jelas dan benar adanya. Bukan kebutuhan yang cuma terka-terkaan kita aja.

Misal, buat para mahasiswa, kan bayaran biaya kuliahnya rutin tiap semester. Nah, ini tergolong kebutuhan yang nyata yang harus dipenuhi dulu. Walaupun belum saatnya untuk bayar saat itu juga, tapi sudah menjadi hak atau bahkan kewajiban kita untuk menyisihkan harta kita untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan menabung.

Tapi kalo untuk kebutuhan-kebutuhan mendadak yang kita ga tahu itu dalam bentuk kebutuhan apa nanti, kita ga perlu menabung untuk itu. Misal, khawatir nanti kecelakaan, terus butuh biaya operasi yang mahal. Masya Allah, kita ga perlu nabung untuk hal-hal yang belum pasti kaya gini, Akh/Ukh. Seolah-olah kita nyumbang duit ke bank atau celengan terus minta didoain supaya duitnya cukup buat biaya operasi kalo kecelakaan. Ini mah sama aja kita secara ga langsung minta didoain supaya kecelakaan. Na'udzubillah

Dari pada begitu, mending kita ikutin tuntunan Al-Qur'an yang kita bahas tadi. Duit berlebihnya sumbangin buat Ibu kita yang mungkin saat itu lagi ngidam mesin jahit untuk ngisi waktu luangnya di masa-masa tuanya. Atau sumbangin buat Ayah kita yang saat itu kita melihat beliau masih menggunakan sepatu bolongnya untuk berangkat ke kantor. Atau sumbangin buat Saudara dan Sahabat kita yang baru mendapat musibah saat itu. Atau cari anak yatim dan fakir miskin di dekat kediaman kita untuk mastiin apakah kebutuhan mereka hari itu sudah terpenuhi atau belum. Dan pokoknya banyak cara yang lebih suci untuk menafkahkan harta kita yang berlebih itu ketimbang menabung untuk jaminan masa depan.

Dengan begini, insya Allah masa depan kita lebih pasti terjamin, karena akan banyak doa yang mengalir dari Ibu-Ayah kita, kerabat kita, yatim, fakir miskin, dan orang-orang sholeh lainnya untuk kebaikan dan keberkahan hidup kita. insya Allah.

Ikhwah Fillah. Begitu indah kan ajaran Islam dalam mengelola harta yang berlebih? :)

Alhamdulillah.

Sekian pembahasan ayat-ayat yang mau ane sampaikan dalam tulisan ini. Semoga ilmu ini bukan menjadikan kita pribadi yang sombong dalam berjejak pendapat, tapi justru mengantarkan kita menjadi orang-orang yang semakin dikuatkan keimanannya dan menjadi orang-orang yang lebih ditinggikan beberapa derajat kemuliaannya di sisi Allah SWT. Aamiin Yaa Rabbal 'alamin.

Mohon maaf atas kekurangan dan kelebihan dalam tulisan ini. Kesalahan berasal dari kelalaian dan kelemahan ane pribadi. Dan kebenaran mutlak berasal dari Allah SWT.

Wassalamu 'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuhu.
[...]

Categories:
Comments

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu 'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ukhti, ku tuliskan ini untuk dirimu, yang mungkin merasakan begitu jelas perubahan sikapku padamu kini. Bukan karena apa-apa. Hanya karena kusadar. Kamu adalah saudariku. Ukhti fillah. Saudari karena Allah. Bukan ukhti fii nasab. Bukan saudari karena keturunan yang menghalalkan interaksi yang dekat antara kita dan mengharamkan pernikahan antara kita.

Ukhti. Mengenalmu mendekatkanku kepada-Nya. Sungguh bersyukur aku kepada-Nya yang telah mempertemukanku dengan dirimu, Ukh. Tapi kini ku memilih untuk menjauh darimu. Bukan karena ku lelah mengenalmu. Aku menjauh darimu kini, agar Allah mendekatkan kita nanti. Entah itu di akhirat, saat kita menjadi tetangga terdekat di surga-Nya. Atau mungkin di dunia, saat Allah mengizinkan kita berjuang bersama sebagai azwaaja.

Ukhti. Sesungguhnya jiwa manusia ada dalam kuasa-Nya. Ia mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwaan. Maka beruntunglah kita jika menyucikannya dan celakalah kita jika menodainya [1]. Jika memang Ia menakdirkan kita sebagai azwaaja, maka adalah suatu keniscayaan bahwa kita berasal dari satu jiwa [2]. Oleh karenanya tidak ada alasan bagiku untuk tidak berusaha menjaga kesucian jiwamu juga. Karena separuh jiwamu adalah separuh jiwaku. Dan inilah caraku menjaga kesucian jiwamu. Dengan menjaga batas interaksi antara kita hingga nyata bagiku kamu memang azwaaja-ku.

Ukhti. Allah yang Maha kuasa meneguhkan hati kita untuk cenderung kepada kebaikan atau keburukan. Allahu Yaa Muqollibal quluubi. Allah, Dzat yang Maha membolak-balikkan hati manusia. Selayaknya hati Umar (ra) yang sangat keras, Allah dengan mudah menjadikan hatinya cenderung kepada kebaikan jika Ia menghendakinya. Begitu juga dengan hati kita, Ukh. Bukan interaksi berlebihan yang akan meneguhkan hati kita. Tapi kehendak Allah. Maka dari itu kuwakilkan urusan hati kita kepada-Nya. Diamku ini untuk menjagamu. Agar Allah ridho dengannya. Sehingga Ia berkehendak untuk meneguhkan hati kita kepada kebaikan yang pernah kita sepakati.

Kamu pun begitu 'kan, Ukh? ^^

"Dibalik kecuekan seseorang, mungkin ada doanya yang terus mengiringi dirimu."

[1] Q.S. Asy-Syams: 7-10
[2] Q.S. Ar-Rum: 21
[...]

Categories:
Comments

Allah,
I can not see You.
But I can feel You.
Just by looking at my self.
I see there are a lot of wonder spread in front of me.
Such perfect harmony of nature.
These proofs is enough for me.
To believe the presence of You.

Allah,
You know every single word I say.
Even every single word whispered in my heart.
Therefore, I always try to keep it all just for Your Pleasure.
When I talk to someone, I don't act like it just between me and him/her.
Because I always feel the presence of You among us.
So, how can I dare to say even a lie in it?

Allah,
I feel the presence of You.
It makes me hold myself whenever I'm about to do any wrong deeds.
It makes my life easy.
 And it can not be much simpler.
Alhamdulillah.

Qaf {50:16}
"We verily created man
and We know what his soul whispereth to him,
and We are nearer to him than his jugular vein."
[...]

Categories:
Comments

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu 'alaykum Warahmatullahi Wabarakatuhu

Akhi, Ukhti.. Begitu banyak hikmah terkandung dalam Al-Qur'an. Tidak hanya mengajarkan kita tentang tuntunan hidup, tapi juga menceritakan tentang kisah-kisah yang sangat inspiratif.

Teringat suatu kisah dalam Qur'an tentang kasih seorang ibu. Yang darinya kita belajar tentang bagaimana besarnya cinta seorang ibu kepada anaknya, bagaimana rindu seorang ibu saat melepas anaknya, dan bagaimana kuatnya doa seorang ibu untuk kebaikan anaknya.

Hikmah tentang ibu ini kita bisa renungi dari ayat Qur'an dalam Surat Al-Qashash ayat 7.
Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul."  [Al-Qashash: 7]
"Laa Tahzan, Ummu Musa."

Perkataan ini yang diilhamkan langsung oleh Allah SWT kepada sang ibu.

"Jangan bersedih hati, wahai ibu musa".

Kekhawatiran dan kesedihan memang sedang menyelimuti hati seorang wanita israil ini yang baru saja melahirkan bayi laki-laki yang kelak menjadi Rasul Allah, Musa (as). Tapi, kesedihan macam apa yang membuat Allah SWT hendak secara langsung mengilhamkan sang ibu untuk tidak bersedih hati? Ya, pastilah itu suatu kesedihan yang amat besar, dan tidak ada kesedihan seorang ibu yang paling besar melainkan kekhawatiran kehilangan anaknya. Di saat negerinya digemparkan dengan kebijakan pemimpin mereka yang zhalim, Fir'aun, yang dengan keji membunuh setiap anak laki-laki dari keturunan israil.

Kisah pengilhaman Allah SWT secara langsung kepada ibu Musa (as) agar ia tak bersedih hati karena khawatir kehilangan anaknya ini mengajarkan kepada kita bahwasanya Allah SWT menganggap kesedihan seorang ibu kehilangan anaknya memang sesuatu ujian yang sangat berat bagi sang ibu. Maka dari itu, masihkah kita meremehkan air mata ibu kita hingga saat ini? Tidak, sungguh benar-benar merugi seorang anak yang tidak mengacuhkan setitikpun air mata sang ibu, di saat Allah SWT jelas-jelas sangat peduli dengan air mata cinta seorang ibu kepada anaknya.

"Laa Tahzan, Ummi"

Pernahkah kata itu terucap untuk ibu kita, yaa akhi dan ukhti? Kata-kata inilah yang telah menumbuhkan ketenangan ke hati ibu Musa. Ya, memang kata-kata itu spesial diilhamkan langsung oleh Allah SWT. Tapi percayalah, akhi, ukhti. Kata-kata ini tetap akan memiliki kekuatan yang menenangkan bagi sang ibu saat kata-kata ini terucap langsung oleh kita, sang buah hatinya, seolah kata-kata itu diilhamkan langsung juga oleh Allah SWT ke dalam hati ibu kita. Insya Allah.
Sumber: Mahamahu

Subhanallah, begitu indah Islam mengajarkan kita untuk memuliakan sang Ibu. Bahkan Allah SWT pun langsung memberikan contoh bagaimana Ia begitu peduli dengan cinta ibu kepada anaknya.

Radhitubillahi Rabba, Yaa Allah..
[...]

Categories: